Dunia kesehatan memasuki babak baru dalam dimensi pembangunan dewasa ini, ini terlihat dari besarnya perhatian public terhadap bidang kesehatan, khususnya aspek pembiayaan kesehatan. Tak dipungkiri mahalnya biaya kesehatan menjadi alasan dibalik sikap tersebut. Puncaknya adalah saat disahkannya Undang-Undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) delapan tahun silam. Namun ternyata upaya tersebut tak berjalan mulus seperti yang diperkirakan banyak pihak. Benturan kepentingan mengakibatkan terjadinya stagnasi pasca disahkannya Undang undang tersebut. 7 tahun berlalu, barulah semangat yang sempat “mati suri” itu hidup kembali dan mencapai klimaks ketika disahkannya Undang-Undang No. 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS). Universal Coverage menjadi Euforiakemenangan berbagai pihak yang berjuang mengawal pengesahan UU tersebut, mulai para akademisi, praktisi, politisi, dan pekerja sektor non formal. Luapan ekspresi kegembiraan itu menjadi headline news di berbagai media nasional. Berbagai polemik prodan contra dari pengesahan Undang-Undang No. 24 tersebut tak lagi dihiraukan. Publiclarut dalam euforia kemenangan dan babak baru pembangunan dunia kesehatan di Indonesia akhirnya dimulai.
Pasca Pengesahan UU BPJS; What Next ?
Mayoritas Public beranggapan bahwa setelah ditetapkannya UU BPJS tersebut maka beragam persoalan menyangkut dunia kesehatan dengan sendirinya juga telah selesai. UU BPJS dianggap seolah menjadi “juru selamat” berbagai persoalan kesehatan. Disadari atau tidak, dunia kesehatan tidak hanya menyangkut masalah jaminan pembiayaan, lebih dari itu masalah lain seperti derajat kesehatan di berbagai sektor antara lain lingkungan sehat, lalu lintas sehat, serta industri sehat juga menjadi persoalan yang mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya. Paradigma sakit yang hari ini digunakan sebagai pendekatan orientasi kebijakan kesehatan di Indonesia juga bisa menjadi ancaman tersendiri bagi ketersediaan anggaran untuk jaminan pembiayaan kesehatan pada saat dijalankannya UU BPJS 2014 nanti. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan secara paralel sehingga social coverage tidak menjadi masalah baru yang mengancam dan berpotensi membahayakan kondisi perekonomian bangsa.
Langkah menuju universal coverage jaminan kesehatan 2014
Terdapat tiga aspek cakupan universal coverage yang saat ini menjadi persoalan mendasar dan mendesak untuk segera diselesaikan, yaitu masalah kepesertaan, fasilitas layanan kesehatan, serta pembiayaan. Menyangkut persoalan kepesertaan, dalamuniversal coverage setiap penduduk “otomatis” menjadi peserta yang berhak mendapatkan jaminan kesehatan, artinya 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia wajib tercakup dalam kepesertaan. Saat ini tercatat sebanyak 121,2 juta jiwa penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan baik itu berupa askes, jamsostek, jamkesmas, asabri, dll. Berarti masih terdapat 116,4 juta jiwa penduduk yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Perluasan kepesertaan merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Dalam aspek fasilitas layanan kesehatan, standarirasi mutu pelayanan di fasilitas kesehatan merupakan masalah baru dan mendesak untuk diselesaikan, khususnya soal ketersediaan fasilitas kesehatan di daerah terpencil. Masalah seperti perbandingan jumlah puskesmas, jumlah dokter umum, tenaga farmasi, serta tenaga medis lainnya dengan penduduk juga perlu segera dicari solusi penyelesaiannya. Sehingga pelayanan kesehatan yang berkeadilan, merata dan tanpa diskriminasi bisa segera terwujud.
Dalam aspek pembiayaan, persoalan besaran iuran untuk biaya kesehatan per jiwa masih menjadi perdebatan antara pemerintah, sektor pekerja non formal, maupun praktisi kesehatan. Bahkan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat mengancam akan melakukan mogok nasional jika besaran iuran yang mereka ajukan tidak disetujui pemerintah. IDI mengsuslkan angka Rp. 60.000,- per jiwa, dari besaran iuran yang ditawarkan pemerintah lewat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar Rp. 27.000,-. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dicarikan solusinya.
Utopia kesejahteraan di era universal coverage
Indonesia di era SJSN dan BPJS merupakan sebuah bangsa dengan cerminan kesejahteraan public, khususnya di bidang kesehatan. Di era ini tak ada lagi orang miskin yang mendapat perlakuan diskrimasi dari rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya perawatan, tak ada lagi orang tua yang menggendong jenazah anaknya karena tak mampu membayar biaya ambulans. Di era ini, fasilitas kesehatan dan tenaga medis telah terdistribusi secara merata hingga ke pelosok negeri. Indonesia di era ini merupakan sebuah potret ideal yang menggambarkan sisi manusiawi dari dunia kesehatan, sisi kehidupan yang hilang disaat pembiayaan telah menjadi sangat dominan akibat hegemoni liberalisasi ekonomi dalam dunia kesehatan Indonesia.
Pasca Pengesahan UU BPJS; What Next ?
Mayoritas Public beranggapan bahwa setelah ditetapkannya UU BPJS tersebut maka beragam persoalan menyangkut dunia kesehatan dengan sendirinya juga telah selesai. UU BPJS dianggap seolah menjadi “juru selamat” berbagai persoalan kesehatan. Disadari atau tidak, dunia kesehatan tidak hanya menyangkut masalah jaminan pembiayaan, lebih dari itu masalah lain seperti derajat kesehatan di berbagai sektor antara lain lingkungan sehat, lalu lintas sehat, serta industri sehat juga menjadi persoalan yang mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya. Paradigma sakit yang hari ini digunakan sebagai pendekatan orientasi kebijakan kesehatan di Indonesia juga bisa menjadi ancaman tersendiri bagi ketersediaan anggaran untuk jaminan pembiayaan kesehatan pada saat dijalankannya UU BPJS 2014 nanti. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah sistem pelayanan kesehatan dan sistem pembiayaan secara paralel sehingga social coverage tidak menjadi masalah baru yang mengancam dan berpotensi membahayakan kondisi perekonomian bangsa.
Langkah menuju universal coverage jaminan kesehatan 2014
Terdapat tiga aspek cakupan universal coverage yang saat ini menjadi persoalan mendasar dan mendesak untuk segera diselesaikan, yaitu masalah kepesertaan, fasilitas layanan kesehatan, serta pembiayaan. Menyangkut persoalan kepesertaan, dalamuniversal coverage setiap penduduk “otomatis” menjadi peserta yang berhak mendapatkan jaminan kesehatan, artinya 237,6 juta jiwa penduduk Indonesia wajib tercakup dalam kepesertaan. Saat ini tercatat sebanyak 121,2 juta jiwa penduduk yang telah memiliki jaminan kesehatan baik itu berupa askes, jamsostek, jamkesmas, asabri, dll. Berarti masih terdapat 116,4 juta jiwa penduduk yang belum mempunyai jaminan kesehatan. Perluasan kepesertaan merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan.
Dalam aspek fasilitas layanan kesehatan, standarirasi mutu pelayanan di fasilitas kesehatan merupakan masalah baru dan mendesak untuk diselesaikan, khususnya soal ketersediaan fasilitas kesehatan di daerah terpencil. Masalah seperti perbandingan jumlah puskesmas, jumlah dokter umum, tenaga farmasi, serta tenaga medis lainnya dengan penduduk juga perlu segera dicari solusi penyelesaiannya. Sehingga pelayanan kesehatan yang berkeadilan, merata dan tanpa diskriminasi bisa segera terwujud.
Dalam aspek pembiayaan, persoalan besaran iuran untuk biaya kesehatan per jiwa masih menjadi perdebatan antara pemerintah, sektor pekerja non formal, maupun praktisi kesehatan. Bahkan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat mengancam akan melakukan mogok nasional jika besaran iuran yang mereka ajukan tidak disetujui pemerintah. IDI mengsuslkan angka Rp. 60.000,- per jiwa, dari besaran iuran yang ditawarkan pemerintah lewat Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sebesar Rp. 27.000,-. Ini merupakan pekerjaan rumah yang harus segera dicarikan solusinya.
Utopia kesejahteraan di era universal coverage
Indonesia di era SJSN dan BPJS merupakan sebuah bangsa dengan cerminan kesejahteraan public, khususnya di bidang kesehatan. Di era ini tak ada lagi orang miskin yang mendapat perlakuan diskrimasi dari rumah sakit karena tidak mampu membayar biaya perawatan, tak ada lagi orang tua yang menggendong jenazah anaknya karena tak mampu membayar biaya ambulans. Di era ini, fasilitas kesehatan dan tenaga medis telah terdistribusi secara merata hingga ke pelosok negeri. Indonesia di era ini merupakan sebuah potret ideal yang menggambarkan sisi manusiawi dari dunia kesehatan, sisi kehidupan yang hilang disaat pembiayaan telah menjadi sangat dominan akibat hegemoni liberalisasi ekonomi dalam dunia kesehatan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar